18/08/2019
Bagaimana Yahudi memandang Tuhan, Uang, Kekayaan dan Kemiskinan. Yuk Baca:
MINDSET YAHUDI oleh Erizeli Jely Bandaro
Waktu di Canton Fair, saya amprokan dengan Daniel. Dia masih tetap sehat dan bugar di usia atas 70 tahun. Penampilannya tetap sederhana. Saya kali pertama mengenalnya waktu di Rotterdam. Tahun 2008 saya pernah tinggal di Swiss beberapa waktu lama. Kalau weekend saya selalu ke Rotterdam ditemani supir saya. Entah mengapa saya s**a tinggal di Rotterdam. Ini kota kecil namun udaranya bersih sekali. Karena sebagian besar orang menggunakan sepeda sebagai alat transportasi. Angkutan umum juga tersedia berupa kereta listrik yang membelah kota. Masyarakatnya sangat ramah dan tidak nampak terburu buru seperti di Hong Kong dan China.
Di kota ini saya berkenalan dengan Daniel yang menghabiskan usia pensiunnya sebagai banker di Utrecht. Dia Yahudi tulen. Orangnya ramah. Daniel di masa tuanya tinggal sendirian karena anaknya tinggal di Amerika sebagai banker. Ia hidup senang walau hartanya banyak namun dia tidak beli kapal pesiar atau rumah berkamar puluhan. Apartemennya di Utrecht hanya berukuran 45 meter. Jadi hidupnya sangat efisien.
Ia mungkin termasuk Yahudi yang taat. Tidak makan babi, tidak minum alkohol dan tidak menyentuh wanita yang bukan muhrimnya walau itu sahabat dekatnya. Bahkan menurut cerita dia disunat. Mengapa saya tertarik menulis tentang sahabat saya ini? Karena pemikirannya termasuk Yahudi yang moderat.
Di Hong Kong saya mengajaknya makan malam di Caffe & Bar di kawasan Wanchai. Ikut bersama saya teman dari Malaysia. Kami melihat ada wanita bergerombol mendatangi bar, salah satu teman saya nyeletuk “mereka jauh datang dari negerinya, hanya untuk jadi PSK ilegal. Kalau bukan karena kemiskinan tidak mungkin mereka mau datang ke Hong Kong. Itu karena di negerinya Tuhan tidak hadir, walau mereka beragama.”
Saya tersenyum.
“Tuhan selalu hadir, kapan saja , dimana saja.” Kata Daniel. “Jangan kamu lihat kemiskinan lantas kamu bilang Tuhan tidak hadir. Kamu lebih kafir dari setan. Sejahat jahat setan, tidak pernah mengabaikan Tuhan. Tetap percaya kehadiran Tuhan dimana saja dan kapan saja.” sambungnya dengan tenang.
“Tapi kemiskinan itu karena pemerintah yang zolim. Hanya memberi kesempatan kepada orang kaya saja.” balas teman saya. Saya tersenyum. Karena dia berdialog dengan mitra saya dari Malaysia, seorang muslim yang taat.
“Tadi Tuhan kamu keluhkan tidak hadir, sekarang pemerintah kamu keluhkan zolim. Di kapala kamu hanya ada mengeluh. Semua di salahkan.” Kata Daniel tangkas.
“Saya tidak mengeluh, tapi saya bicara soal empati dan keadilan“, mulai sewot teman saya.
“Lantas kamu anggap Tuhan dan Pemerintah tidak punya empati dan keadilan. Hanya kamu yang peduli?"
“Saya hanya mengingatkan. Itu saja”
“Ya mengingatkan itu cara bersikap yang salah. Karena itu kalau besok ada orang yang bicara keadilan untuk si miskin kamu jadi follower, besok kalau ada orang bicara Tuhan kamu jadi follower. Ketahuilah, hidup bukan retorika tapi perbuatan. Karena dengan retorika, bisnis atas nama keadilan dan Tuhan bisa mendatangkan uang dan kekuasaan. Dan kamu hanya menjadi follower dari profesional yang menjual retorika itu. Itulah yang terjadi di negara yang mayoritas beragama. Mereka brengsek daripada kapitalis.“ Kata Daniel dengan santai.
“Tuhan itu Maha Adil dan Maha bijaksana. Tidak ada orang dilahirkan untuk jadi miskin dan dizolimi. Namun karena manusia diberi Tuhan hak Free Will maka setiap manusia punya pilihan menentukan sendiri jalannya. Karenanya surga dan neraka tercipta, Kaya miskin terbentuk. Business dan economy class tersedia. Justru keadilan Tuhan itu ada karena selalu di dunia ini berpasangan. Setiap pilihan berkaitan dengan mental kita sendiri.
Kami, Yahudi mengejar harta namun tidak menumpuk harta non produktif. 90% elite terkaya di dunia sekarang adalah orang Yahudi. Padahal kami minoritas. Tetapi istana dan rumah termewah didunia adalah milik orang Islam seperti Raja Arab, dan Brunei. Emas terbanyak di miliki orang Islam tapi penguasaan saham di bursa adalah Yahudi. Tempat ibadah terbanyak dimiliki orang Islam tapi penguasaan saham di perusahaan mulinasional adalah Yahudi. Ini soal pilihan.
Kami tidak hidup dalam simbol material: dalam bentuk harta, istana, kendaraan Rubicon, Lamborghini, Alphard atau apalah dan tidak juga tempat ibadah bertebaran dimana-mana. Tapi dalam bentuk seni berbagi dengan cara smart. Penguasaan saham lewat bursa memberikan kesempatan orang yang punya effort menunaikan fungsi sosial perusahaan. Penguasaan saham di perusahaan secara langsung, satu cara mengaktualkan ide berbagi secara intelektual dan spiritual.
Dengan seni berbagi itu walau kami tidak punya negeri yang dirahmati Tuhan seperti kalian, tapi kami menjadi mesin berkembangnya peradaban. Kelaparan, kemiskinan di planet bumi ini terjadi karena pilihan pribadi manusia sendiri. Mereka dididik dari kecil harus mengutamakan retorika agama, dan sorga lebih utama. Tapi anehnya ketika mereka kalah bersaing mereka salahkan Tuhan dan Pemerintah. Padahal ketika mereka sibuk mengisolasi dirinya dari luar agar suci dan bersih, orang lain berjuang mengembangkan iptek dan pasar. Pilihan berbeda, tentu hasil juga berbeda.
Jadi kalau kalian mencintai Tuhan dan ingin mengaktualkan Tuhan, maka jangan jadikan materi sebagai Tuhan. Karenanya jauhi barang mewah berlebihan, apapun itu dan berbagilah, tetapi lakukan itu dengan smart.
Saya mampu beli rumah mewah atau mobil mewah tapi itu memakan ongkos mahal. Hasilnya apa? hanya agar dipandang dan dibanggakan. Useless! Lebih baik dibelikan apartemen yang kecil dengan ongkos murah. Kalau ingin sekali kali merasakan tinggal di Istana kami bisa tinggal di hotel berkelas diamond lengkap dengan layanan limo. Kalau ingin melihat dunia lain, kami bisa liburan dengan pesawat layanan first class tanpa perlu beli private jet.“ Kata Daniel membuat teman saya dari Malaysia terdiam dan menyimak.
“Lantas untuk apa uang banyak?"
“Ya. jangan di tabung di bank. Itu cara idiot. Kamu bisa tempatkan di portofolio saham. Tanpa kerja kamu menikmati hasil kerja orang lain. Tanpa berlelah payah membangun usaha kamu memberikan kesempatan orang lapangan kerja. Lets money working for you. Tanpa disadari kamu juga memberikan bantuan bagi orang miskin dengan pajak yang dibayar oleh perusahaan yang sahamnya kamu punya. Dengan deviden yang kamu terima kamu bisa berbagi lewat pajak.
Berpuluh puluh tahun saya memburu uang akhirnya saya tidak butuh uang. Berpuluh tahun saya mengejar harta demi kehormatan akhirnya saya tidak butuh kehormatan. Mengapa? Time is money tapi faktanya justru kita tidak punya waktu disaat kita punya uang. Kita kumpulkan uang karena khawatir miskin. Tapi faktanya kita selalu khawatir harta berkurang. Jadi, intinya uang akan memenjarakan kebebasan kita kalau kita maknai uang adalah segala-galanya. Tetapi kalau kita maknai uang hanyalah alat maka kita bisa menikmati hidup tanpa diperbudak uang. Tanpa khawatir menebarkan kesempatan kepada orang lain untuk berkembang, tanpa membuat kita bangkrut tentunya.
Hidup itu secure bukan karena financial resource tetapi karena financial freedom. “ Kata Daniel. Saya melirik teman saya dari Malaysia yang nampak tersenyum.
Photo Courtesy Pinterest: Pl***oy Magazine, Israel Edition