Sejak awal sejarahnya, Lawu telah dikenal sebagai tempat yang ideal dan signifikan bagi penggemblengan jiwa manusia dan kemanusiaan.Tawangmangu adalah bagian dari lereng Gunung Lawu yang dahulu bernama Mahendra. Serat Chentini (perjalanan Syeh Amongraga) dalam jilid 8 juga menyinggung tentang keberadan Tawangmangu terutama, desa - desa yang ada di dalamnya seperti : Desa Gondosuli, Blumbang, Kalis
oro dan tempat yang berada di lereng selatan barat Gunung Lawu. Hal itu semakin nyata dengan eksisnya situs Candi Menggung (peninggalan Airlangga) Desa Nglurah, Tawangmangu. Dengan keindahan, keteduhan dan kesunyian alamnya, Lawu menjadi tempat ideal manusia untuk beruzlah (meninggalkan keramaian duniawi) demi bersuci diri dari debu – debu dunia dan buas rakusnya nafsu kemanusiaan menuju kesempurnaan tataran (maqam) keilahian. Terbukti ditemukan beberapa situs mulai dari tempat peribadatan seperti Candi Cetho, Sukuh, dan Kethek sampai kepada tempat – tempat pertapaan seperti Pringgondani, Hargodalem (tempat mogswa –nya Raja Majapahit terakhir – Prabu Brawijaya V). Selain itu, ada juga sendang – sendang seperti sendang Temanten, sendang Drajat, sumur Jalatunda, dan lain sebagainya. Fakta – fakta semacam ini jelas semakin mengokohkan Lawu sebagai salah satu tempat penggemblengan jiwa manusia dan kemanusiaan yang tak pernah lekang dimakan zaman. Gunung Lawu juga tidak lepas dari kemunculan Satrio Piningit Sinisihan Wahyu sebagaimana disebut dalam Jangka Joyboyo. Disamping sebagai tempat olah jiwa dan kemanusiaan Gunung Lawu juga di kenal sebagai puser bumi (tanah Jawa). Sebagaimana diketahui juga bahwa Prabu Brawijaya V atau pamungkas mokswa di Gung Lawu. Dimana sebagaimana diketahui, beliau mengeluarkan supata sebelum moksa di Puncak Lawu. Bahwa, nanti 500 tahun semenjak keruntuhan Majapahit (1978) akan ada keturunanku yang dapat mengharumkan bumi nusantara ke penjuru dunia sama halnya saat kejayaan Majapahit tempo dulu.