09/05/2021
Tak bisa dipungkiri, Pdt. Dr. SAE (Soritua Albert Ernst) Nababan yang lahir di Tarutung, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, 24 Mei 1933 adalah ikon pemimpin gereja Indonesia yang sulit dicari tandingannya. Ia tidak hanya pernah memimpin PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) dan sinode gereja terbesar di Indonesia, HKBP. Tapi ia pun pernah dipercaya sebagai Presiden Persekutuan Gereja-gereja Se-Asia (CCA) dan Moderator Dewan Gereja-gereja Se-Dunia (WCC). Selain itu, ia sudah pernah dipercaya memimpin United Evangelical Mission (UEM) atau Persekutuan Gereja-gereja di Asia, Eropa dan Afrika serta memimpin Lutheran World Federation (LWF). Tentu ia bisa berkiprah di dunia internasional, karena Pdt. SAE Nababan yang berdarah Batak ini merupakan figur yang punya kapabilitas, kompeten, punya jiwa kepemimpinan dan punya jaringan luas di luar negeri. Dalam bukunya berjudul “Selagi Hari Masih Siang-Catatan Perjalanan Pdt. Dr. SAE Nababan” ini banyak cerita yang selama ini tidak terungkap ke publik, terutama seputar kasus HKBP pada 1992-1998 diceritakannya secara gamblang, dan bahasanya pun mudah dicerna.
Di buku yang terdiri 10 bab, setebal 470 halaman dan diterbitkan PT. BPK Gunung Mulia ini, Pdt. SAE Nababan yang kini sudah berumur kepala 8 menyadari bahwa perjalanan hidup dan kesaksian hidupnya perlu dibaca banyak orang agar generasi muda memetik pelajaran dari pengalamannya itu. Ada pengalaman menggetirkan, mengharukan, menggemaskan dan mukjizat Tuhan yang diceritakan mantan Ketua Umum PGI dan Ephorus Emeritus HKBP di dalam bukunya ini. Yang cukup menarik di salah satu bab buku ini adalah kisahnya saat membantu seorang pendeta senior di HKBP dengan dana dan untuk menyelesaikan studi program doktornya di Jerman, padahal pendeta tersebut sudah mendapat sanksi (hukuman) dari pimpinan HKBP. Dan di kemudian hari justru pendeta itulah yang dimanfaatkan penguasa untuk “menandinginya” sebagai pucuk pimpinan tertinggi di Sinode HKBP. Di buku ini, ada p**a diceritakan tentang seorang jenderal pendukung penguasa Orde Baru dan beragama Kristen yang menekannya supaya mengakui kepemimpinan rivalnya di HKBP, namun Pdt. SAE Nababan bertahan dengan prinsipnya yang teguh.
Pdt. SAE Nababan tak lupa menceritakan tentang seorang jenderal di era Orde Baru yang saat itu ikut bersimpati kepadanya atas tekanan penguasa terhadap HKBP. Termasuk ia menulis tentang sejumlah bawahannya di HKBP, seperti Pdt. SMP Hutasoit, Pdt. WTP Simarmata dan Pdt. Saut Sirait yang setia mendampinginya dan mendukung penegakan konstitusi di HKBP. Pdt. SAE Nababan kepada bawahannya selalu menegaskan bahwa yang menetapkan Ephorus HKBP tidak patut seorang petinggi militer, tapi mesti jemaat atau pendeta HKBP lewat Sinode Godang. Ia pun berulang kali diadang militer saat akan memimpin kebaktian kebangunan rohani (KKR) yang dihadiri ribuan orang jemaat HKBP di sejumlah daerah di Sumatera Utara. Dan ia mengalami ada pertolongan Tuhan yang luar biasa setiap ia akan berkhotbah di sebuah KKR sekalipun ada pengadangan dari kaki tangan penguasa yang saat itu amat represif. Ada juga cerita pengobatan by pas jantung Pdt. SAE Nababan selama dua bulan di Jerman, sebelum akhirnya HKBP diintervensi pemerintah, termasuk Kantor Pusat HKBP dan kediamannya di Tarutung diobrak-abrik karena ketidaksukaan penguasa terhadap dirinya yang vokal dan kritis. Dan penguasa memanfaatkan oknum-oknum yang berseberangan dengan Pdt. SAE Nababan untuk merongrong kepemimpinannya.
Pdt. SAE Nababan.
Di salah satu bab di buku ini, Pdt. SAE Nababan mengkritik pimpinan PGI kala itu, yang menurutnya, memberi emas ke Cendana (kediaman Soeharto), dan PGI menurutnya, saat itu tak dapat disangkal sudah “dijinakkan” penguasa (Halaman 389). Dan waktu itu juga kekuasaan Soeharto sudah mulai goyah karena krisis moneter dan aksi demo ribuan mahasiswa serta perlawanan kelompok prodemokrasi.
Tak hanya itu, saat HKBP yang dipimpinnya membawa kasus intervensi oleh pihak eksternal ke pengadilan, Pdt. SAE Nababan pun memuji keberanian Lintong Oloan Siahaan, S.H., yang saat itu Ketua PTUN Medan yang tegas menegakkan konstitusi dan kebenaran. Namun Lintong Siahaan akhirnya mendapat teror luar biasa, rumahnya diserbu preman, akibat putusannya. Kala itu Pdt. SAE Nababan didampingi pengacaranya Luhut Pangaribuan, S.H., L.LM cs.
Pdt. SAE Nababan diakui banyak kalangan figur pemimpin yang berkarisma dan jenius, meskipun ada p**a yang menyebutnya tokoh kontroversial. Sebagai seorang pemimpin gereja yang tak bisa dipandang sebelah mata, ada sejumlah kalangan menyebut bahwa Pdt. SAE Nababan meskipun pendeta, namun ia pun bisa seperti politisi yang handal menyampaikan pendapat dan membuat orang kagum. Di sebuah edisi Majalah “Bona Ni Pinasa” pada 1999 silam ditulis, kala Pdt. SAE Nababan akan menghadiri KKR di sebuah daerah di Sumut, pernah ia diadang oleh militer agar tak bisa bertemu dengan jemaatnya. Namun saat itu, konon Pdt. SAE Nababan menyamar jadi perempuan sehingga ia bisa lolos dari adangan militer. Termasuk di buku ini ia menceritakan tentang maraknya dulu perebutan tempat ibadah oleh kelompok yang kontra terhadap dirinya, sehingga muncullah tempat ibadah “parlape-lapean” atau sejenis tenda-tenda jemaat untuk beribadah sebagai wujud perlawanan terhadap penguasa yang represif.
Buku ini menarik disimak, serta menginspirasi dan memotivasi serta bisa jadi catatan sejarah bagi generasi muda. Sekalipun pasti ada pihak-pihak yang merasa “disentil” di dalamnya. Setelah penguasa Orde Baru tumbang pada 21 Mei 1998 lalu, kemudian pada 24 Desember 1998 HKBP bisa mengadakan Sinode Godang Bersama dengan damai di Pematang Siantar, Sumut. Dan terpilih Pdt. Dr. J.R. Hutauruk dan Pdt. WTP Simarmata, M.A. sebagai Ephorus dan Sekjen HKBP yang baru. Dan pengadaan Sinode Godang Bersama itu tak lepas dari peran Pdt. SAE Nababan dan Pdt. J.R. Hutauruk cs untuk memulihkan luka-luka lama di tengah pendeta dan jemaat agar gereja besar yang diintervensi penguasa selama enam tahun itu bisa hidup damai dan rukun kembali. Dan Pdt. SAE Nababan mengatakan, dulu HKBP bisa diintervensi pihak luar karena kegersangan rohani. Sehingga ia menegaskan, jemaat jangan melulu diberi “susu” tapi harus diberikan p**a makanan yang keras agar imannya teguh dalam menghadapi tantangan zaman. Pdt. SAE Nababan yang merupakan suami tercinta Alida boru Tobing, punya tiga anak dan enam cucu pun kerap menyampaikan, bahwa gereja harus berani bicara kebenaran dan keadilan di tengah masyarakat, serta jangan sampai “dijinakkan” oleh penguasa.