Before the technology of Google Maps, the Bali Pathfinder Map was an essential, high-quality tourist map that helped travelers venture through the Island of Gods. First published in 1984 by Silvio Santosa, the map featured a practical layout, offering travelers comprehensive navigation of Bali's attractions, roads, and cultural landmarks, with a detailed, artistic design hand-drawn by Santosa himself.
After over 30 years, the map reached its final known edition, the 12th edition, published in 2015. It remains valued for its artistic design and navigational accuracy.
Do you still have a copy of the Bali Pathfinder Map? 👉🗺️
_________
Sebelum teknologi Google Maps, Peta Bali Pathfinder adalah peta wisata berkualitas tinggi yang sangat penting bagi para wisatawan untuk menjelajahi Pulau Dewata. Pertama kali diterbitkan pada tahun 1984 oleh Silvio Santosa, peta ini memiliki tata letak praktis, memberikan para wisatawan navigasi lengkap mengenai objek wisata Bali, jalan-jalan, dan landmark budaya, dengan desain artistik yang detail dan digambar tangan langsung oleh Santosa sendiri.
Setelah lebih dari 30 tahun, peta ini mencapai edisi terakhirnya, yaitu edisi ke-12, yang diterbitkan pada tahun 2015. Peta ini tetap dihargai karena desain artistiknya dan akurasi navigasinya.
Apakah Anda masih memiliki salinan Peta Bali Pathfinder? 👉🗺️
While it's important to have your umbrella and raincoat ready, the rainy season is also a great time to slow down and appreciate the moment 🧘🏽♀️☔
_________
Selain penting untuk menyiapkan payung dan jas hujan, musim hujan juga merupakan waktu yang tepat untuk menikmati suasana hujan yang tenang dan bersantai sejenak 🧘🏽♀️☔
Lawar is a traditional Balinese dish made from a mix of minced meat, vegetables, and traditional Balinese spices. This dish is usually prepared during ceremonies or religious celebrations, with the process carried out collaboratively, either with family at home or the local community. Watch how Windari and her family prepare lawar together!
_________
Lawar adalah hidangan tradisional Bali yang terbuat dari campuran daging cincang, sayuran, dan bumbu khas Bali. Hidangan ini biasanya disiapkan saat upacara atau hari raya keagamaan. Hidangan ini dibuat secara gotong royong, baik bersama keluarga di rumah maupun masyarakat sekitar. Dalam video ini saksikan cara Windari bersama keluarganya membuat lawar!
Have you ever wondered what happens to the food offerings after a Balinese ceremony? 🍌🍊
In Balinese ceremonies, various food items such as ketupat (rice cakes), meat, fruits, snacks, and other natural products are presented as offerings. After the ceremony, these offerings become "lungsuran," which are distributed among devotees who consume them believing they carry divine blessings.
The use of natural products in offerings symbolizes gratitude for the universe's abundance, and some people creatively transform lungsuran into traditional snacks. The decision to accept and consume lungsuran varies among individuals, influenced by factors such as the location and purpose of the offering, to whom it was dedicated, and who presented it.
_________
Pernahkah kalian bertanya-tanya apa yang terjadi pada persembahan makanan setelah upacara adat Bali? 🍌🍊
Dalam upacara adat Bali, berbagai jenis makanan seperti ketupat, daging, buah-buahan, camilan, kelapa, dan produk alami lainnya dipersembahkan sebagai sesajen. Setelah upacara selesai, sesajen ini disebut "lungsuran," yang kemudian dibagikan kepada umat untuk dikonsumsi, dengan keyakinan bahwa makanan tersebut membawa berkah ilahi.
Penggunaan bahan alami dalam persembahan melambangkan rasa syukur atas kelimpahan alam semesta. Beberapa orang bahkan mengolah lungsuran menjadi camilan tradisional. Keputusan untuk menerima dan mengonsumsi lungsuran berbeda-beda di antara individu, tergantung pada faktor seperti lokasi dan tujuan persembahan, kepada siapa persembahan itu dipersembahkan, serta siapa yang memberikan persembahan tersebut.
The Pedudusan Karya Agung ceremony, currently taking place at Ubud Village Temple (Pura Desa Ubud) is a significant Balinese ritual. Held approximately every 20-30 years, this event returns to Ubud after a 27 years. Tjokorda Raka Kerthyasa, a prominent Ubud Royal family member, explains that the ceremony is a Dewa Yadnya, an offering to the Gods, aimed at purifying both humans and the environment. It embodies the Tri Hita Karana philosophy, which seeks harmony between humans, nature, and the divine. This sacred event promotes safety and universal unity. The ceremony's peak, known as Adining Karya, took place today November 10, marking a momentous occasion for the Ubud community (and our team!)
Museums are the new runways 📸💅
_________
Museum2 adalah catwalk baru 📸💅
The “Siat Tipat” or “Tipat War” is a unique tradition celebrated annually in Kapal, Bali. Also called Aci Tabuh Rah Pengangon in the original lontar where this custom was first documented, the Tipat War is believed to have been enacted 685 times by the Kapal villagers and usually occurs during the full moon of the fourth Balinese month in the Saka Calendar.
Participants engage in a symbolic battle using tipat (diamond-shaped rice cakes) and bantal (oval sticky rice cakes), representing feminine and masculine elements respectively. The ceremony begins with community members offering these cakes to the village temple, where they’re blessed by a priest. After communal prayers and a blessing with holy water, the “war” begins inside the temple with chosen villagers and officials, then spills onto Kapal’s main road involving the entire community. This unique ritual aims to invoke prosperity by symbolically uniting masculine and feminine energies to create new life force.
_________
“Siat Tipat” atau “Perang Tipat” adalah tradisi unik yang dirayakan setiap tahun di Kapal, Bali. Juga dikenal sebagai Aci Tabuh Rah Pengangon dalam lontar asli di mana adat ini pertama kali didokumentasikan, Perang Tipat diyakini telah dilaksanakan sebanyak 685 kali oleh warga Kapal dan biasanya terjadi pada bulan purnama di bulan keempat dalam Kalender Saka.
Para peserta terlibat dalam pertempuran simbolis menggunakan tipat (kue beras berbentuk diamond) dan bantal (kue ketan oval), yang masing-masing mewakili unsur feminin dan maskulin. Upacara dimulai dengan warga desa yang menghaturkan kue-kue ini ke pura desa, di mana kue- kue tersebut kemudian diberkati oleh seorang pendeta. Setelah doa bersama dan pemberkatan dengan air suci, perang dimulai di dalam pura oleh warga terpilih dan pengurus desa, lalu meluas ke jalan utama Kapal yang melibatkan seluruh komunitas. Ritual unik ini bertujuan untuk memanggil kemakmuran dengan secara simbolis menyatukan energi maskulin da
🌾 In Balinese prayer rituals, bija (or wija in Sanskrit) holds a sacred place. This blessed rice, given by priests after prayers, symbolizes purity and represents Kumara, the son of God Shiva. The preparation involves washing the rice with water, sandalwood, or turmeric. During the ritual, bija is applied to three key areas: between the eyebrows, on the throat, and is also consumed. This threefold application, using three whole grains at each point, is believed to purify one's thoughts, actions, and speech.
The practice of receiving bija is deeply spiritual, connecting worshippers with their inner divinity. It serves as a powerful reminder of the divine presence within each individual, fostering purity in mind, body, and spirit.
_________
🌾 Dalam ritual persembahyangan agama hindu di Bali, bija (atau wija dalam bahasa Sansekerta) memiliki peran sakral. Beras yang telah diberkahi ini, diberikan oleh para pendeta/pemangku setelah sembahyang, melambangkan kesucian dan mewakili Kumara, putra Dewa Siwa. Persiapannya meliputi pencucian beras dengan air, kayu cendana, atau kunyit. Setelah sembahyang bija ditempatkan di antara alis, di tenggorokan, dan juga dikonsumsi. Penempatan bija dengan menggunakan tiga bulir beras utuh, diyakini dapat memurnikan pikiran, tindakan, dan ucapan seseorang.
Penggunaan bija sebagai bentuk pemberkatan setelah sembahyang berfungsi sebagai pengingat yang kuat akan kehadiran Tuhan dalam diri setiap individu, menumbuhkan kemurnian dalam pikiran, tubuh, dan jiwa.
Nguopin and ngayah are interconnected Balinese traditions of communal service. Nguopin involves mutual assistance in various social contexts, both religious and non-religious, like helping neighbors with construction or harvests. Ngayah specifically refers to voluntary service in religious or temple-related activities.
These practices, passed down through generations, are particularly upheld by Balinese women who prepare ceremonial necessities, create offerings, serve guests, and participate in processions. Nguopin is informal and based on social reciprocity, while ngayah is a spiritual duty with participants wearing white or yellow attire.
Both traditions embody the Balinese philosophy of Tri Hita Karana, emphasizing harmony in social relationships and spiritual practices. They foster social cohesion, strengthen community bonds, and reflect core Balinese values of community support and selfless service. Those who rarely participate may face social consequences, potentially being ostracized.
_________
Nguopin dan ngayah adalah tradisi Bali yang saling terkait dalam bentuk pelayanan komunal. Nguopin melibatkan bantuan timbal balik dalam berbagai konteks sosial, baik yang bersifat religius maupun non-religius, seperti membantu tetangga dalam membangun rumah atau panen. Ngayah secara khusus merujuk pada pelayanan sukarela dalam kegiatan keagamaan atau terkait dengan pura.
Tradisi ini diturunkan dari generasi ke generasi dan dijaga khususnya oleh perempuan Bali yang menyiapkan kebutuhan upacara, membuat sesajen, melayani tamu, dan berpartisipasi dalam prosesi. Nguopin bersifat informal dan didasarkan pada saling bantu sosial, sedangkan ngayah merupakan kewajiban spiritual di mana para peserta mengenakan pakaian putih atau kuning.
Kedua tradisi ini mencerminkan filosofi Bali, yaitu Tri Hita Karana, yang menekankan harmoni dalam hubungan sosial dan praktik spiritual. Tradisi ini memperkuat kohesi sosial, mempererat ikatan masyarakat, dan mencerminkan nilai-nilai inti
Legong: Dance of the Virgins was filmed over the course of three months in 1933 and premiered in New York City on October 1, 1935, to positive reviews from critics. The film remained in theaters for two weeks after its initial release, partly due to the bare-breasted actresses, which attracted viewers. American censorship at the time was more lenient with nudity in films perceived as cultural studies, especially when the women were non-white.
In 1999, the film was restored by the UCLA Film and Television Archive and released on DVD in 2004. In this version, much of the nudity was removed in the US, and cockfighting scenes were cut in the UK. The release also included an alternative soundtrack composed by Richard Marriott and I Made Subandi, performed by Gamelan Sekar Jaya and Club Foot Orchestra, blending Balinese and Western music. The full version of the film can also be found on YouTube.
_________
Legong: Dance of the Virgins difilmkan selama kurun waktu tiga bulan pada tahun 1933 dan ditayangkan perdana di New York City pada 1 Oktober 1935. Film ini mendapatkan ulasan positif dari para kritikus dan tetap tayang di bioskop selama dua minggu setelah perilisan awal, sebagian karena para aktris yang tampil bertelanjang dada, yang menarik perhatian penonton. Sensor Amerika pada saat itu lebih longgar terhadap ketelanjangan dalam film yang dianggap sebagai studi budaya, terutama jika perempuan yang tampil bukan dari ras kulit putih.
Pada tahun 1999, film ini direstorasi oleh UCLA Film and Television Archive dan dirilis dalam bentuk DVD pada tahun 2004. Dalam versi ini, sebagian besar adegan ketelanjangan dihapus di AS, dan adegan adu ayam dihapus di Inggris. Versi ini juga menyertakan soundtrack alternatif yang digubah oleh Richard Marriott dan I Made Subandi, dibawakan oleh Gamelan Sekar Jaya dan Club Foot Orchestra, menggabungkan musik Bali dan Barat. Versi lengkap film ini juga dapat ditemukan di YouTube.
🛕Why visit Pejeng?🛕
This ancient village, often overshadowed by Ubud, is a must-see for history enthusiasts.
Our 𝐌𝐲𝐭𝐡 𝐨𝐟 𝐏𝐞𝐣𝐞𝐧𝐠 𝐓𝐨𝐮𝐫 offers an escape from the crowds, immersing you in the heart of some of Bali’s oldest temples. Marvel at the impressive artifacts and ancient statues, including Southeast Asia’s largest bronze kettle drum. As you explore sacred courtyards, your guide will share how locals intertwined their beliefs with these powerful artifacts.
Make time for Pejeng on your Bali trip—you won’t regret it!
_________
🛕Mengapa Anda harus mengunjungi Pejeng?🛕
Salah satu desa tertua ini, yang sering kurang dikenal dibandingkan Ubud, wajib dikunjungi bagi pecinta sejarah.
Tur 𝐌𝐢𝐭𝐨𝐬 𝐏𝐞𝐣𝐞𝐧𝐠 kami menawarkan pengalaman yang tenang, jauh dari keramaian, dan mengajak Anda menjelajahi beberapa pura tertua di Bali. Di sini, Anda bisa melihat artefak dan patung-patung kuno, termasuk nekars terbesar di Asia Tenggara. Selama tur, pemandu kami akan menjelaskan bagaimana masyarakat setempat menghubungkan kepercayaan dan mitos mereka dengan artefak-artefak ini.