02/08/2016
SEBUAH KISAH TENTANG KERINDUAN !
BAHAR DAN SUNGAI BATANG HARI
Ketulusan hatinya seperti air mengalir, tak pernah putus. Swir, seorang ayah yang tak bisa melukiskan bentuk kasih sayang. Namun, dalam hatinya, segenap jiwa dan raganya, mengabdikan hidup hanya untuk Bahar. Tak peduli peluh sudah basahi seluruh tubuhnya. Tiap hari Swir malang-melintang di Sungai Batang Hari. Berharap bisa menyaksikan anaknya yang tak lama lagi hendak masuk sekolah dasar.
Bagi sebagian Ayah mendaftarkan anak masuk SD mungkin hal biasa. Tapi, berbeda dengan Swir, jiwanya bergetar semenjak Bahar mengucapkan keinginan kuat untuk sekolah. Swir mempunyai enam orang anak, seperti Mardan, anak tertua, lebih memilih jadi tukang angkat di pasar pagi. Zamto lebih menjadi kernet mobil tambang antar kecamatan. Badun berdagang es keliling kampung. Lusmawati berdagang sayur kangkung di pasar Kota Madya. Imah mengikuti pamannya berladang kentang di bukit. Sedangkan Bahar anak lelaki paling bungsu itu menegaskan kepada ayahnya bahwa apa pun yang terjadi dia ingin sekolah.
"Berapa bapak keluarkan uang untuk daftarkan kau ke sekolah, Har?" tanya Swir dengan suara berat.
"Kata buk guru tak ada pakai biaya, Pak." Bahar menjawab datar.
"Ah, yang betul tak ada biaya, Har."
"Betul, aku tak bohong. Kata kawan-kawan yang penting ada pakai baju baru dan perlengkapan sekolah yang baru, Pak."
Malam itu setelah segelintir pertanyaan sederhana dijawab lugas oleh Bahar. Swir seakan tak percaya bahwa dia mempunyai seorang anak yang mempunyai keinginan sekolah. Tidak seperti abang dan kakaknya yang memilih mengasingkan hidup dari segala bentuk ilmu pengetahuan.
Betapa bahagianya Swir mendengar mimpi Bahar yang begitu besar. Semalam, Bahar berkata kepada Swir, jika sudah besar nanti dia ingin menjadi seorang pilot. Swir termenung mendengar impian anaknya. Sehingga Swir makin semangat bekerja. Biasanya dia masuk rimba dalam seminggu tiga kali. Sekarang ia makin menargetkan diri, tak tanggung-tanggung tiap hari ia pasrahkan hidup bersama Sungai Batang Hari.
Semenjak ibu Bahar meninggal satu tahun yang lalu, Swir menghidupi enam orang anak dengan susah payah. Untunglah lima orang anaknya sudah besar dan sudah bisa mencari biaya hidup masing-masing. Sehingga hidup Swir bisa terfokus hanya menyiapkan segala yang diperlukan Bahar selama sekolah bertahun-tahun nantinya. Meskipun begitu, Swir juga tidak melupakan tugasnya dalam menghidupi tiga orang abang dan dua kakak perempuan Bahar.
Kata warga pinggiran Sungai Batang Hari, ayah Bahar begitu semangat ketika tahu anak lelaki bungsunya hendak masuk sekolah. Berbeda dengan anak-anak pinggiran Sungai Batang Hari lainnya yang tak tertarik bersekolah. Bagi anak-anak itu sekolah tak berguna. Barangkali karena orang tua mereka yang buta akan pendidikan sehingga tidak tahu cara menerangkan betapa berartinya menuntut ilmu pengetahuan.
Pukul lima subuh Swir sudah menjejakkan kaki di tanah. Berjalan menelusuri Sungai Batang Hari dengan golok di pinggang. Berjalan tertatih-tatih dengan semanga tinggi. Kurang lebih tiga belas kilometer ia berjalan menemui kawasan perbukitan bambu. Swir menebang lima belas bambu setiap harinya lalu bambu tadi ia bentuk seperti rakit. Swir mengemudikan rakit pencariannya menyusuri arus sungai dan berhenti di dekat pasar Kecamatan. Sampai di pasar Kecamatan, seorang juragan penampung sudah siap untuk memborong seluruh bambu pencariannya.
“Akhir-akhir ini banyak betul bambu yang Kayo bawa, Pak Swir,” kata seorang juragan.
“Begitulah, Pak Juragan. Cari uang untuk anak mau masuk sekolah, kalau dah besar nanti dia mau jadi pilot.” Swir menjawab dengan kepolosannya.
Tidak banyak penghasilan Swir per-harinya. Satu batang bambu dibeli dengan harga 500, lima belas batang bambu hanya menghasilkan uang 7.500. Tentu hasil itu tak sebanding dengan kebutuhan Swir menghidupi enam orang anak. Ditambah lagi resiko bercengkrama dengan sungai berair coklat yang konon banyak buaya. Namun, Swir sudah menempah matinya, apa pun yang terjadi dia harus tetap kuat dan terus semangat demi anak-anaknya, terutama Bahar yang tidak lama lagi akan mendaftar sekolah.
Esoknya rutinitas Swir berjalan seperti kuadradnya. Penghasilan tak berubah. Pakaian tak berganti. Harapannya tetap sama sebagai seorang ayah. Subuh ini Swir bangun lebih pagi, sebelum berangkat ia menyempatkan helus kepala Bahar, menciumninya, mengusap-ngusap kepalanya penuh kehangatan. Tersenyum lebar Swir melihat wajah Bahar. Dalam belaian lembutnya tersebut, Bahar terbangun dan membalas senyuman ayahnya.
"Bapak hati-hati!"
"Iya bapak pasti jaga diri."
"Besok hari minggu, Pak. Besok bapak jadi belikan aku perlengkapan sekolah yang baru," tanya Bahar sambil bangun dari tidurnya.
"Tenanglah, besok kita beli di pasar Kecamatan, Har. Besok kau sudah punya baju, celana, tas, sepatu, dan buku baru." Swir kembali mengusap kepala Bahar.
Bahar mengantar ayahnya ke ambang pintu. Memandang punggung ayahnya sampai hilang di jalan setapak desa. Bahar kembali masuk kamar mengambil poto almarhum ibunya di atas meja. Bahar mencium poto itu dan memeluk erat, "Mak, tak lama lagi aku sekolah, aku mau jadi pilot" begitu ucap Bahar menyampaikan impiannya dengan bicara dengan poto kusam hitam putih.
Sementara Swir sudah mengadukan hidupnya di bukit bambu. Pukul dua belas siang tiba-tiba langit menghitam, awan menghitam, matahari mulai redup. Baru delapan bambu yang sudah ditebang oleh Swir. Membutuhkan tujuh batang lagi untuk bisa dijadikan rakit. Sebelum hujan turun Swir bergegas menebang tujuh bambu lagi. Hujan mulai turun perlahan, membasahi tubuh Swir, keringat Swir makin menjadi bercampur air hujan. Swir tak meyerah meskipun cuaca menyulitkannya.
*****
Bahar menyukai segala sesuatu yang berhubungan dengan pesawat terbang. Kadang dia sedih karena tak pernah melihat pesawat secara langsung. Sebab memang tidak pernah ada pesawat yang melintasi kampung pinggiran Sungai Batang Hari. Bahar mempunyai sebuah koleksi yang dia dapat dari memecahkan celengan ayam jagonya. Hasil tabunganya itu dia belikan mainan pesawat terbang. Meskipun hanya sebuah mainan namun Bahar sangat menyayangi. Bahkan saat tertidur pesawat mainan itu selalu berada di sampingnya.
Impian Bahar ingin menjadi seorang pilot berawal dari Mardan. Waktu itu ia p**ang dari pasar membawa sebauh koran nasional. Dalam koran itu ada berita seorang putra bangsa sudah mampu berkarya untuk negaranya, yakni dengan membuat sebuah pesawat terbang. Dibawah poto putra bangsa tersebut tertulis sebuah nama: Bj Habibie. Bahar melihat koran itu dengan mata berkaca-kaca, walaupun dia sendiri tak paham apa yang sedang diceritakan dalam koran nasional tersebut.
"Bang apa betul bapak tua ini bisa buat peswat?" Bahar menunjuk gambar Bj Habibie yang berpose sederhana disamping pesawat terbang.
"Ya, itulah kata orang-orang di pasar, Har." Mardan menjawab sambil meneguk kopi.
"Aku mau seperti bapak ini, Bang."
"Tak mungkin kau bisa, Har."
"Kenapa tak mungkin?"
"Kita anak kampung manalah bisa buat pesawat, makan saja susah."
"Salah itu, Bang. kalau sudah besar aku mau buat pesawat." Bahar berlalu membawa mainan pesawatnya keluar rumah.
Mendengar ucapan Mardan mematahkan semangatnya. Bahar mendiamkan Mardan beberapa hari. Siapa saja yang menjengkali cita-citanya, Bahar tak mau bicara sepatah kata pun dengan mereka. Bahkan salah seorang pemuda karang taruna pun pernah dilempar buah rambutan ketika berkata: mustahil Bahar bisa mencapai keinginannya.
Hanya Swir yang percaya bahwa impian anaknya akan tercapai. Meskipun terkadang bertolak dengan hati nuraninya sendiri.
Di luar rumah Bahar main dengan kawan sebaya, dia mengabarkan kepada kawannya bahwa besok dia juga akan daftar sekolah. Anak usia enam tahun itu begitu bergairah karena esok untuk pertamakalinya duduk di bangku pendidikan dasar.
Bahar anak periang, dis**ai kawan sepermaianan. Bahar juga s**a menolong sesama kawan. Bahkan pada suatu hari Arif, anak kepala desa tertusuk paku saat mereka main di tepi sungai. Bahar mengendong Arif, dan mengantar ke rumahnya, terbungkuk-bungkuk. Sampai di rumah Arif, bapak kepala desa memberinya uang, namun Arif tegas menolak pemberian itu. Bapakku bilang menolong orang harus ikhlas, begitu jawaban Bahar menolak pemberian dengan sopan.
Hari ini Bahar memberitahu Arif bahwa nanti sore dia akan pergi ke pasar Kecamatan membeli perlengkapan sekolah. Arif senang karena besok senin mereka mendaftar sekolah. Senang karena tiap pagi mereka akan berangkat sokolah bersama. Senang, sebab besok Arif diantar oleh ibunya dan Bahar akan diantar ayahnya. Senang, karena besok Bahar mulai melangkah mengejar impiannya. Bahar tak sabar lagi menunggu hari esok.
*****
Hujan lebat mengguyur kampung Sungai Batang Hari sudah membawa petaka. Pukul sepuluh malam hujan tak kunjung reda. Bahar masih setia menanti kep**angan ayahnya. Malam itu seorang pemuda karang taruna berpayungkan daun pisang menembus hujan, ia singgah ke rumah Bahar. Memeberi tahu bahwa Swir hilang di Sungai Batang Hari.
"Air bah datang, bapak kau tenggelam."
"Mana mungkin, Bang. Bapakku pasti balik bawa baju baru dan sepatu baru." Bahar memandang Mardan seolah menginginkan Mardan berkata bahwa berita itu tidak benar.
"Abang tak bohong, Har. Ayolah ikut abang kalau kau tak percaya. Orang kampung masih ramai di tepian Batang Hari."
“Aku tak mau percaya sama Abang! Bapak pasti balik sebentar lagi, besok bapak mau ngantar aku ke sekolah.”
Mata Bahar berkaca-kaca. Perlahan Bahar menggigit bibir mungilnya.
Saat itu hanya Bahar dan Mardan ada di rumah. Abang beradik itu pun memastikan berita tersebut. Mereka datang ke pinggiran Batang Hari. Ternyata berita itu sungguh terjadi. Hanya rakit Swir yang ditemukan warga tersanggkut di sebuah batang besar. Swir hilang ditelan Sungai Batang Hari. Warga, SAR, dan tim penyelamat sudah berusaha mencari Swir semalaman, berhari-hari, namun sampai saat ini jasad Swir tidak berhasil ditemukan. Seorang ayah dengan semangat menggebu-gebu ingin membelikan perlengkapan sekolah baru untuk anaknya itu sudah mati.
Sekarang Bahar sudah besar, dia sekolah dengan prestasi-prestadi hebat. Meskipun demikian, setiap p**ang sekolah Bahar tak pernah lupa singgah di tepian Sungai Batang Hari. Bahar berharap sebuah keajaiban akan datang. Keajaiban bisa melihat ayahnya melambaikan tangan. Berharap ayahnya melihat bahwa dia sudah berseragam sekolah. Berharap ayahnya datang memberikan perlengkapan sekolah baru. Penuh harapan melihat seorang ayah dengan keringatnya datang memeluk, mencium, mengusap kepalanya, dan memberi semangat agar dia sanggup meraih impian.
Sampai pada hari ini, warga pinggiran Sungai Batang Hari selalu menemukan Bahar masih berseragam sekolah bermenung-menung di tepi sungai. Pukul dua siang Bahar duduk di tebing menghadapkan kepalanya ke arah hulu, sesekali mengayunkan kakinya. Dia akan p**ang menjelang magrib. Begitu pun dengan hari-hari berikutnya. Setiap hari, tak pernah lupa menyinggahi tepian Sungai Batang Hari. Bahar percaya suatu hari nanti ia akan melihat ayahnya kembali.
Yogyakarta