28/06/2021
PADA RONA AWALNYA, MUSHOLLA DGN ALAT KOMUNIKASI MASSA BERUPA 'KOHKOL DAN BEDUG' DI AREA LAHAN BECEK "TJILEUNGTJANG" (1882 - 1892)
Pada era akhir Abad 17 jelang abad ke 18, sebagai bagian dari masa pemerintahan penjajahan kolonial Belanda, status kota Banjar Patroman adalah masih status 'Keresidenan Sukapura Tasikmalaya' yg dikatagorikan sbg "Big Village" desa besar yg subur makmur dgn peran serta fungsinya sebagai pusat pelayanan utk distribusi, koleksi dan pusat produksi aneka hasil bumi dari daerah "Satelitnya" (desa-desa pinggirannya, daerah belakangnya).
Keberadaan Alun-alun dan Musholla di Banjar pada waktu itu, bisa dikatakan sebagai ruang terbuka hijau dan pendopo utk kepentingan 'rehat & meeting' para tetamu petinggi dari Dayeuh, serta para inohong/nonoman yg saleh, santri dan ustadz/zah.
Dahulu, kalau ada alun alun dipastikan ada area kandang kuda, karena alun alun selain utk kepentingan sosial budaya setempat, difungsikan juga utk kepentingan area penggantian atau peristirahatan Kuda pacu yg menarik kereta maupun pedati dan delman pejabat yg sedang melakukan tourni atau kunjungan kerja ke setiap daerah. Alun alun juga sbg area penggantia kereta box caravan pembawa surat surat dan logistik dari provinsi, kabupaten dan atau dari puser Dayeuh.
Ada alun-alun dan tadjugh utk solat, dzikir, dan ibadah lainnya bagi para "musafir" yg kebetulan para petugas, kurir, maupun ambtenar dan sais pembawa kereta kuda yg menarik sang "dunungan" Adipati, kaula bupati maupun sinuhun gobernorant" berikut Adipati sang boudigart-nya (ajudannya).
Ruang awal alun-alun dan Tadjugh tsb adalah rona ruang lahan becek di tengah lahan kebun campuran. Dan hampir lebih dari dua abad kemudian, Musholla atau tadjug tsb jadi Mesjid "Jammi" mesjid besar dgn nama Masjid Agung Banjar Patroman dan alun alun jadi ruang terbuka alias taman kota utk melengkapi kebutuhan "iconik Urban Design"
(Asgm dari sejarah Jawa Barat, Ir Kunto, dan tulisan Wa'Odeng Sanud, 2000)