23/03/2017
AGAMA, MOTIVASI DAN LINGKUNGAN
Bolehkah Umroh sebelum Haji dan dengan Berhutang ?
Bolehkah Umroh sebelum Haji dan dengan Berhutang ?
PERTANYAAN :
Assalamua’alaikum warohmatullahi wabarokatuh. Bapak Ustadz kami akan
bertanya seputar penawaran umroh yang saat ini begitu menjamur di mana,
terlebih lagi antrian haji yang begitu lama hingga 20 tahun ke atas
menjadikan masyarakat banyak tertarik untuk berangkat umroh, termasuk
diantaranya kami sekeluarga juga tentunya. Nah, terkait dengan hal
tersebut ada tiga hal mendasar yang ingin kami tanyakan agar kami lebih
tenang sebelum benar-benar mendaftar untuk berangkat umroh.
Pertama : Bagaimana hukumnya umroh bagi mereka yang belum pernah berhaji ?
Kedua : Bagaimana hukum umroh dengan biaya berhutang, apakah diterima, sah
atau tidak ?
Ketiga : Bagaimana dengan program talangan dana umroh/haji yang banyak
ditawarkan saat ini , apakah diperbolehkan atau tidak kami menggunakannya ?
JAWABAN :
Wa’alaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh. Pertama kami ucapkan
terima kasih atas pertanyaannya, yang saya kira juga mewakili sekian banyak
pembaca Insani dan masyarakat umum yang mungkin memendam rindu untuk
berkunjung ke Baitullah, semoga niatan dan harapan baik bapak sekeluarga
bisa segera terpenuhi.
Pertama, Pertanyaan atau kegelisahan seputar bolehkan berumroh sebelum
menunaikan ibadah haji, biasanya berdasarkan pemahaman sebagian besar yang
ada dalam benak masyarakat kita bahwa hukum umroh adalah sunnah, sementara
haji itu wajib. Sehingga seolah menjadi sesuatu yang janggal saat
mendahulukan sunnah daripada yang wajib. Kalau kita memperdalam kajian
soal hukum umroh, ternyata ada perbedaan pendapat diantara para ulama,
khususnya imam madzhab. Ulama Malikiyah dan sebagian Hanafiyah berpendapat
hukum umroh adalah sunnah muakkad, dan menarikanya ulama Hambali dan
Syafiiyah – madzhab yang paling banyak dianut di Indonesia- justru malah
mengatakan bahwa hukum umroh itu wajib sekali seumur hidup. Mereka yang
mewajibkan melandaskan pada ayat dimana Allah SWT berfirman :
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ للهِ
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.” (Al-Baqarah: 196).
Memang meskipun ada perbedaan pendapat tentang hukum umroh diantara para
ulama, tentu semuanya sepakat bahwa ibadah umroh mempunyai keutamaan dan
kemulaan tersendiri, sebagaimana jelas disebutkan dalam sebuah hadits,
Rasulullah SAW bersabda : “Kerjakanlah secara urut antara haji dan umrah,
maka keduanya menghilangkan kefakiran dan dosa, sebagaimana pandai besi
menghilangkan kotoran besi, emas dan perak. Dan tidak ada pahala haji
mabrur selain surga.”(HR. Tirmidzi)
Adapun tentang pertanyaan kebolehan umroh sebelum haji, maka sebenarnya
para ulama semua bersepakat tentang kebolehannya. Apalagi jika kondisi saat
ini yang benar-benar terkendala secara teknis untuk berangkat haji lebih
dulu, karena antrian yang begitu panjang hingga belasan tahun, tentu
menjadi semakin bertambah tingkat “kebolehannya’. Dalam kitab Al-Majmu’
syarh Muhadzzab disebutkan : Para ulama berijmak (bersepakat) tentang
kebolehan umroh sebelum haji, baik pada tahun yang sama atau tidak, begitu
p**a haji sebelum umroh. Berdasarkan hadits Ibnu Umar : “ bahwasanya Nabi
SAW melaksanakan umroh sebelum haji” (HR Bukhori), dan juga berdasarkan
hadits shohih yang masyhur bahwa Rasulullah SAW pernah tiga kali berumroh
sebelum berhaji.
Kedua : Pertanyaan tentang berumroh dengan berhutang apakah sah ibadahnya,
diterima atau ditolak. Tentang keabsahan sebuah ibadah tentu ditentukan
dengan terpenuhinya syarat dan rukun umroh, jika terpenuhi dengan baik dan
sempurnya tentu sebuah ibadah menjadi sah diterima disisi Allah SWT. Adapun
jika ada unsur lain yang di luar ibadah yang bermasalah, maka pelakunya
akan mendapatkan dosa sesuai dengan jenis pelanggarannya. Berhutang tentu
jelas bukan sebuah dosa, bahkanada pertanyaan yang justru lebih mendalam
tentang bagaimana haji dari harta yang harom, apakah sah diterima atau
tidak ?. Dalam hal ini ulama Lajnah Daimah Saudi menjawan : ‘Menunaikan
haji dengan ongkos dari harta yang haram tidak menghalangi sahnya haji,
namun dia tetap berdosa karena harta yang berasal dari harta yang haram.
Hal itu dapat mengurangi pahala haji, namun tidak membatalkannya.’ (Fatawa
Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta, 11/43) . Sehingga dalam
hal ini tentu berhutang jauh lebih terhormat daripada menunaikan haji atau
umroh dengan harta harom.
Adapun soal kebolehannya, maka para ulama menyebutkan, diantaranya Imam Al
Khottob dalam Mawahibul Jalil, Imam Al Khotib as-Syarbaini ulama Syafii,
Syaikh Utsaimin, dan juga dalam fatwaislamweb.net, dengan redaksi beragam,
tetapi semua menunjukkan tentang kebolehan umroh dengan berhutang, bagi
yang mempunyai kemampuan untuk membayar atau melunasinya.
Inilah yang saya kira tepat untuk menggambarkan situasi sekarang, dimana
seorang berhutang untuk umroh ternyata bukan karena kondisi miskin atau
menderita lalu memaksakan diri, namun lebih karena model penghasilan di
jaman ini yang identik dengan bulanan atau gajian, sehingga lebih
membutuhkan “talangan” untuk kemudian dibayar secara berangsur dan rutin
pada waktu berikutnya.
Ketiga : Adapun tentang bentuk penawaran umroh atau haji dengan menggunakan
dana talangan yang banyak ditawarkan seperti saat ini, sebenarnya tentang
kebolehannya sudah difatwakan secara khusus oleh Dewan Syariah Nasional
(DSN) Majelis Ulama Indonesia pada Fatwa no 29 tahun 2002. Namun tentu saja
perlu menjadi catatan penting, apakah lembaga keuangan syariah, baik bank
syariah atau koperasi syariah yang menawarkan produk tersebut sudah
memenuhi ketentuan dalam fatwa tersebut atau tidak. Prinsip akad yang
dibolehkan dalam fatwa itu adalah pengurusan haji, dimana pihak bank atau
koperasi memang mempunyai kerjasama dengan pihak penyelenggara umroh dan
haji. Kemudian nasabah datang untuk mendaftar kepada bank/koperasi untuk
melakukan serangkaian pengurusan umroh dan haji tersebut, dalam hal ini
bank/koperasi syariah memfasilitasi dan menjadi jembatan antara nasabah dan
biro penyelanggara haji/umroh. Karena pengurusan tersebut kemudian
bank/koperasi berhak mendapatkan fee/ ujroh pengurusan sesuai kesepakatan,
yang tidak boleh besarannya berdasarkan dana talangan yang diberikan
bank/koperasi dengan prinsip Qardh atau pinjaman tanpa bunga dan tambahan
lainnya. Fase berikutnya nasabah mengembalikan dana talangan tersebut
secara mengangsur, tentu saja tidak lupa juga membayar ujroh/fee pengurusan
sebagaimana telah disepakati.
Penting untuk dicatat, bahwa ujroh atau fee yang dibebankan bank/koperasi
bukan karena memberikan pinjaman atau talangan, tapi karena memberikan
layanan pengurusan dan memfasilitasi antara nasabah dan biro travel
haji/umroh. Sehingga pada akhirnya, jika semua ketentuan yang ada dalam
fatwa DSN MUI tersebut bisa dilaksanakan dan dipatuhi oleh sebuah bank atau
koperasi syariah, maka produk tersebut tentu menjadi boleh dan bisa
digunakan oleh masyarakat. Wallahu a’lam bisshowab.
Demikian jawaban kami semoga ada manfaatnya, semoga Allah SWT memudahkan
langkah kita semua menuju baitullah.
Salam Rindu Baitullah.