07/12/2016
Dialog Lawata suatu senja.
***
Ar, bagaimana menurutmu kalau nanti dia kembali?
Bagaimana menurutmu jika ia meminta sunyi itu menjadi penunggu dadanya?
Bagaimana, Ar?
Sedang tak tuntas rupa bulan itu kau sematkan di ingatan.
Sering ia menjelma waktu berwajah hampa. Bahkan entah apa yang mesti ditadah.
Kau tahu perempuan itu cenderung lebih rapuh dari angin
Lebih getas dari kata-kata yang sengaja diperam cukup lama dalam dada.
Membiarkan waktu terbiar dengan keadaan rumah yang kosong ditinggal sepasang penghuninya, entah kemana.
Sebab cinta, Ar. Ia juga butuh penguat, butuh seulas kata sebagai pengingat tentang keberadaan yang disebut rindu. Lalu setiap tutur akan menyatakan dirinya sebagai saksi: bahwa inilah cinta.
Seperti itu, bahwa segala ucap acap menjadi penentu.
***
"Vie, yang pergi itu masa yang tak harus kembali. Biarkan dia pergi, dan kuyakin akan ada hari di mana gempita menggantikan sunyi yang menunggui dadamu. Dada kita. Aku atau dia, sementara perjalanan memang kadang memaksa sebagian rekaman kenangan di kepala dienyahkan. Entah jejak denganku atau dia, lalu kita sama-sama tertawa dalam kebahagiaan yang lain, atau kita tetap seperti adanya, bersama.
Kau belum tahu perihal dada lelaki, Vie. Dia lebih rapuh dari yang kauduga. Pun jauh lebih rapuh dari angin, seperti katamu. Aku sedang tidak Baik-baik saja, Vie. Aku limbung. Tapi, aku sadar tak lebih yang bisa dilakukan sepasang sunyi seperti kita, kecuali terus memperturutkan sunyi itu mendiaminya. Kubiarkan rumah kita kosong. Tak ada puisi di sana seperti biasa, hanya sisakan sebaris tanya. Apa aku salah? Tanyamu. Tidak, Vie. Tak ada yang salah. Hanya aku sedang tidak Baik-baik saja. Sepertinya sunyi itu kembali lebih awal, Vie. Dia kembali dan tak kuasa kumenolaknya.
Sebab cinta, Vie. Tak selalu butuh seulas kata, pun tak cukup tutur sebagai saksi. Ia perlu disentuh dengan tanganmu, kecupmu: bahwa inilah cinta. Seperti itu, bahwa segala sentuh acap menjadi penentu."
Ar, Vie.