19/05/2020
Keihlasan seorang istri
Isteri Gus Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha' berasal dari pasuruan
Saat pernikahan Beliau, Gus Baha' memilih untuk "naik bis ekonomi" dari pandangan (Kragan, Rembang, Jateng) menuju rumah mertuanya di Sidogiri pasuruan
Setelah menikah, Gus Baha' hidup di Yogya, ngontrak rumah di sana. Di sana, bukan berarti Gus Baha' hidup enak. Beliau hidup pas-pasan. Bahkan, tak jarang telat bayar kontrakan karena tidak punya uang.
Gus Baha' itu bukan Kyai kacangan. Keilmuannya diakui oleh ulama-ulama Indonesia, bahkan oleh Syaikhina Maimoen Zubair.
Beliau ketua Tim Lajnah Mushaf UII, yang anggotanya terdiri dari profesor dan doktor, padahal, Gus Baha' tidak memiliki gelar satupun.
Dan bersamaan dengan itu, beliau hidup sangat sederhana... Ngebis ke sana ke mari, bahkan saat ke madura kemarin, Beliau tidak purun untuk dijemput dengan mobil, mau ngojek saja dawuhnya....
Ah, Allah... Saya malu... Ulama bukan, tapi maunya macam-macam.
Dalam hati, saya berfikir: "Ah, betapa sabarnya isteri Gus Baha'. Padahal Beliau keluarga pesantren besar,tapi mau diajak hidup susah seperti itu"
Tapi saya tidak kaget, karena di daerah saya, banyak juga keluarga-keluarga pesantren yang hijrah tempat-tempat terpencil dan pedalaman, berdakwah dan hidup sangat sederhana.
Tapi saya mikir… Wajar saja isteri Gus Baha' bahagia diajak hidup susah, la wong suaminya seperti Gus Baha'.
Tidak pernah marah sama isteri, mengerti akan isteri, mengayomi keluarga dengan baik, menjadi penyejuk bagi keluarganya, perbuatan dan ucapannya semuanya dengan ilmu, tidak asal-asalan....
Lah, saya? Entahlah...
Hidup itu bagaikan daun yang hanyut di sungai. Daun itu adalah kita, dan sungai adalah takdir. Jangan banyak harap, karena harap kita tidak akan merubah takdir.
Semakin banyak harap dan angan, hidup semakin sumpek, takut kehilangan, takut gak kesampaian, takut keduluan orang, takut ini, takut itu.
Ah, Jalani saja...
Semoga menjadi suritauladan santriwati