13/01/2025
Pasca kekalahan dalam pertempuran di Cakranegara pada 25 Agustus 1894, dimana 500 pas**an tewas termasuk Jenderal Van Ham, Belanda kembali dengan kekuatan yang lebih besar dan menghancurkan istana Cakranegara beserta desa-desa di sekitarnya.
Putra Mahkota, AA Ketut Karangasem memilih bertahan di istana untuk memberi waktu kepada keluarganya melarikan diri.
Mayat bergelimpangan, lebih dari 2000 orang Bali tewas, termasuk Putra Mahkota, AA Ketut Karangasem.
Belanda menang hari itu, tetapi tidak tanpa membayar mahal dengan darah. Sekitar 166 tentaranya tewas.
Pukul 9.00 pagi tanggal 22 November 1894, Kolonel Swart mengeluarkan ultimatum, meminta semua keluarga kerajaan yang bersembunyi di Sasari untuk menyerah. Namun, bagi keluarga raja, perintah menyerah adalah penghinaan, mereka memilih untuk melakukan Puputan.
Bersama sang putri, Anak Agung Ayu Praba, dengan mengenakan pakaian terbaik, perhiasan, parfum, dan bersenjata keris serta tombak, mereka menyerang pas**an Belanda sampai titik darah penghabisan.
Sekitar 10 anggota keluarga kerajaan dan 50 pendukungnya tewas, termasuk sang putri dan cucu raja. Di pihak Belanda, 15 tentara tewas dan Kolonel Frackers terluka parah.
Pada peristiwa puputan inilah ditemukan sebilah keris yang menancap di dada sang putri, Anak Agung Ayu Praba —seorang putri sejati yang demi menjaga kehormatan diri dan kerajaannya, rela berkorban nyawa.
Keris yang menancap di dada sang putri, adalah simbol perjuangan dan keberanian mereka.
Konon keris yang tertancap di dada Anak Agung Ayu Praba tersebut, kini berada di tangan seorang kolektor asal Swedia bernama, Michel Marlow.
Apa itu Puputan?
Secara harfiah, puputan berarti "akhir" atau "grand finale". Ini adalah tradisi unik Hindu Bali yang merupakan dharma tertinggi (tugas sakral) dari kasta Kshatriya (Ksatria), di mana raja dan kerabatnya berada di dalamnya.
Puputan adalah cara menyambut kematian dengan berjuang hingga titik darah penghabisan di medan perang. Biasanya dilakukan ketika tidak ada peluang untuk menang, dan menyerah bukanlah pilihan. Mati dalam perjuangan suci dianggap sebagai cara terbaik untuk memeluk kematian.
Anak Agung Ayu Praba adalah putri Raja Anak Agung Ngurah Karangasem dari istrinya Dende Aminah dari Kalijaga.
Dikutip dari tulisan Donny Winardi melalui Pak Ali Lombok Lombok Heritage and Science Society
—
Sekilas tentang Perang Lombok 1894
Pada malam 25-26 Agustus, 1894, kamp tentara Belanda diserang, sekitar 1000 orang tentara menjadi korban, termasuk wakil komandan Jenderal P.P.H. van Ham. Sisa sisa pas**an Belanda dipukul mundur ke Ampenan. Setengah artileri dan sebagian besar senjata mereka berhasil dirampas.
Jika pas**an Bali lanjut menyerang ke Ampenan, maka Belanda saat itu akan hancur, tetapi serangan itu tidak pernah terjadi, Belanda dapat memperkuat posisi dan memulihkan harga diri mereka.
Pada 16 September, Jenderal Vetter menerima bala bantuan dan kini memiliki kekuatan sekitar 7.000 tentara, dan sekitar 50.000 pas**an Sasak Lombok timur. Sementara Pas**an Bali hanya sekitar 15.000.
Dengan kemarahan tak terbendung, Belanda memulai pengeboman tanpa henti selama sepuluh hari, dari 19 hingga 29 September, menjatuhkan sekitar 5.000 peluru ke kota Mataram.
Pas**an Belanda dan Sasak menghadapi perlawanan sengit dari setiap sudut, termasuk oleh perempuan dan anak-anak. Memaksa mereka bertarung dari rumah ke rumah untuk dapat mencapai istana.
Kota Mataram lumpuh, istana hancur, dan Putra Mahkota tewas dalam pertempuran tersebut.
Di Cakranegara, pertempuran serupa terjadi dan sekitar 8.500 peluru dijatuhkan di kota tersebut selama empat minggu.
Pada 18 November, Belanda memasuki kota dan sekali lagi menghadapi perlawanan total. Ketika mereka akhirnya berhasil menaklukkan istana, ternyata Raja telah melarikan diri.
Raja kemudian ditemukan di desa Sasari dan dibujuk untuk menyerah. Beberapa anggota keluarganya menolak untuk menyerah dan memilih melakukan puputan. Ratusan orang tewas dalam peristiwa tersebut.
Raja kemudian ditangkap, dan diasingkan ke Batavia di mana dia meninggal pada tahun berikutnya. Pengasingan Raja menandai akhir dari pemerintahan mandiri Kerajaan Mataram di Lombok dan mengawali kuasa penuh Hindia Belanda atas pulau Lombok.
Sumber: Steve Farram, the Dutch Conquest of Bali, 1997