21/02/2021
21 FEBRUARI, SAMPAH, WISATA dan WISATA SAMPAH
Wisata identik dengan lingkungan bersih. Wisata menolak sampah yang berserakan sembarangan, karena membuat lingkungan menjadi tidak cantik lagi. Tapi kenyataanya, sampah tidak akan pernah berhenti dihasilkan, tidak akan pernah habis selama kehidupan masih ada.
Sejak jaman nenek-kakek, don biu terbiasa kita gunakan untuk berbagai kemasan, pengaputa j**o, lontong dan sebagainya; dan sangat mudah membuangnya di kebun dan akan lapuk atau membusuk dengan segera. Kemudian dedaunan berganti dengan plastik, yang kemudian mendominasi keseharian kita.
Saat pergi belanja di warung, nyaris setiap barang dibungkus plastik. Jika sekali belanja kita membawa pulang 5 bungkus plastik. Katakanlah satu rumah tangga belanja setiap 2 hari sekali, maka dalam sebulan akan mendapat bungkusan plastik sebanyak 5 x 15 hari = 75 buah. Jika dalam satu desa ada 5000 rumah tangga maka dalam satu tahun, desa tersebut akan menghasilkan 4.500.000 buah plastik bekas kemasan. Banyak sekali bukan? Bagaimana dengan sampah non-plastik; daun-daun, sisa makanan, dan sebagainya; pastilah lebih banyak lagi jumlahnya.
Bisakah potensi sampah yang besar ini diambil manfaatnya? Ayo kita buat konsep WISATA SAMPAH. Kita bangun kesadaran secara mandiri di masing-masing rumah tangga, memisahkan plastik dan sampah lainnya. Plastik disimpan terpisah agar tidak terbuang dan berserakan di lahan atau kebun kita, bisa disimpan dalam botol sebagai dan dijual untuk jenis plastik tertentu. Sampah dedaunan dan sisa dapur diolah menjadi pupuk organik, bisa dengan membuat atau tong , yang hasilnya bisa digunakan untuk memupuk tanaman di sekitar rumah.
21 Februari adalah Hari Peduli Sampah Nasional, yang diharapkan sebagai momentum untuk mengembangkan konsep pengelolaan sampah dengan sistem daur ulang.
Wisata pantai, wisata alam, wisata laut, sudah sangat kita kenal. Bisakah WISATA SAMPAH menjadi sebuah icon Desa Wisata? WEST with ZERO WASTE
foto oleh Bali Tersenyum
+++