02/01/2022
MENGINTIP POTENSI SEKTOR PARIWISATA DI HST.
Oleh : Alisahbana
Pemerintah daerah, khususnya Kab. HST. Menurut penilaian saya sejak dulu kebijakannya terlalu kaku. Terlebih terhadap pembinaan dan pengembangan Destinasi Pariwisata. Padahal potensi di sektor ini di wilayah ini sangat menjanjikan. Sumber Daya Alamnya mendukung. Di beberapa wilayah, banyak lokasi yang menarik untuk di kembangkan menjadi lokasi obyek wisata.
Sayangnya, Pemda hanya dapat mengembangkan sarana dan prasarana obyek wisata jika sudah menjadi aset Pemda. Padahal kebijakan seperti ini salah besar. Salah satu contoh kesalahan yang ada, yaitu Pembebasan lokasi Obyek wisata Pagat. Masyarakat di sana sudah tidak terlibat, sehingga minat warga di sana untuk turut mempromosikan sudah sirna. Berbagai upaya dan juga banyaknya biaya yang sudah di kucurkan ke lokasi ini. Namun tetap sepi pengunjung. Padahal, sebelum di ambil alih Pemda HST, lokasi ini selalu ramai dikunjungi.
Di HST sebelumnya ada 3 lokasi obyek wisata yang menjadi andalan (Wisata Batu Benawa, Wisata Lu'uk Laga dan Wisata Sumber Air Panas). Namun karena target pemerintah hanya fokus mengejar target PAD, akhirnya ke 3 lokasi Obyek wisata ini mati suri. Hanya Retribusi yang dikejar, sementara kondisinya lokasi nya tidak diperhatikan.
Di daerah Jawa, pembinaan dan pengembangan Obyek wisata tidak mesti lokasinya milik Pemerintah. Karena pada prinsipnya, tolak ukur keberhasilan pemerintah daerah, bukan hanya masalah PAD. Akan tetapi mampu mensejahterakan warganya melalui ekonomi kerakyatan juga merupakan keberhasilan.
Kalau kita amati, sektor pariwisata memiliki kekuatan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat, karena memiliki dampak multi efek. Banyak para pelaku UMKM yang akan terlibat dan turut menikmati hasilnya. Di sekitar lokasi obyek wisata akan tumbuh berbagai usaha masyarakat, yaitu hasil kerajinan tangan, jajanan, hasil perkebunan dan pertanian dapat dijual dengan harga yang pantas. Sementara di sekitar lintas wisata, usaha rumah makan, sentral oleh-oleh, perhotelan akan semakin meningkat.
Jika pemerintah jeli dan peduli terhadap . Pengembangan Sektor pariwisata ini lah salah satu solusinya, yaitu memanfaatkan sumberdaya alam tanpa harus merusak kelestariannya.
Untuk kajian lebih jauh tentang cara kerjasama yang baik antara pemerintah dengan pemilik lokasi, saya rekomendasikan studi banding ke obyek wisata Ciater di Bandung. Luas lokasi obyek wisata di sana, kurang lebih 6 Ha, lahannya 100% masih milik warga bukan Pemerintah Daerah. Di sana, PAD yang masuk ke kas daerah bukan hanya dari pungutan Retribusi diloket utama (loket masuk) sebesar Rp.15.000 / orang, namun juga dari pajak-pajak lain dari pelaku UMKM yang ada di sana. Sementara para pemilik lahan, masing-masing mengelola wahana yang dibangun diatas tanahnya, melalui kerjasama dengan pihak bank. Wahana yang ada sudah diatur sedemikian rupa oleh Pemda sehingga tidak tumpang tindih sehingga menjadi satu kesatuan. Ada yang mengelola Sepeda Air, Flaying Fox, Lapangan Tenis, Kolam Renang, dll. Masing-masing wahana dikenakan tiket masuk Rp.15.000. Jadi, baik pemerintah maupun warga, memiliki penghasilan masing-masing.
Semoga yang ditempatkan di Dinas Pariwisata HST saat ini orang yang tepat. Sehingga memiliki kajian dan kejelian dalam pengembangan pariwisata di HST.
Saran penting dari saya, untuk melakukan terobosan baru, rubah kebijakan yang ada. Insya Allah, HST akan menjadi Bandung ke dua. Geliat ekonomi meningkat, alam tetap lestari.
Ingat! Penyumbang terbesar devisa dunia di posisi rengking ke 4 adalah sektor pariwisata.MENGINTIP POTENSI SEKTOR PARIWISATA DI HST.
Oleh : Alisahbana
Pemerintah daerah, khususnya Kab. HST. Menurut penilaian saya sejak dulu kebijakannya terlalu kaku. Terlebih terhadap pembinaan dan pengembangan Destinasi Pariwisata. Padahal potensi di sektor ini di wilayah ini sangat menjanjikan. Sumber Daya Alamnya mendukung. Di beberapa wilayah, banyak lokasi yang menarik untuk di kembangkan menjadi lokasi obyek wisata.
Sayangnya, Pemda hanya dapat mengembangkan sarana dan prasarana obyek wisata jika sudah menjadi aset Pemda. Padahal kebijakan seperti ini salah besar. Salah satu contoh kesalahan yang ada, yaitu Pembebasan lokasi Obyek wisata Pagat. Masyarakat di sana sudah tidak terlibat, sehingga minat warga di sana untuk turut mempromosikan sudah sirna. Berbagai upaya dan juga banyaknya biaya yang sudah di kucurkan ke lokasi ini. Namun tetap sepi pengunjung. Padahal, sebelum di ambil alih Pemda HST, lokasi ini selalu ramai dikunjungi.
Di HST sebelumnya ada 3 lokasi obyek wisata yang menjadi andalan (Wisata Batu Benawa, Wisata Lu'uk Laga dan Wisata Sumber Air Panas). Namun karena target pemerintah hanya fokus mengejar target PAD, akhirnya ke 3 lokasi Obyek wisata ini mati suri. Hanya Retribusi yang dikejar, sementara kondisinya lokasi nya tidak diperhatikan.
Di daerah Jawa, pembinaan dan pengembangan Obyek wisata tidak mesti lokasinya milik Pemerintah. Karena pada prinsipnya, tolak ukur keberhasilan pemerintah daerah, bukan hanya masalah PAD. Akan tetapi mampu mensejahterakan warganya melalui ekonomi kerakyatan juga merupakan keberhasilan.
Kalau kita amati, sektor pariwisata memiliki kekuatan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat, karena memiliki dampak multi efek. Banyak para pelaku UMKM yang akan terlibat dan turut menikmati hasilnya. Di sekitar lokasi obyek wisata akan tumbuh berbagai usaha masyarakat, yaitu hasil kerajinan tangan, jajanan, hasil perkebunan dan pertanian dapat dijual dengan harga yang pantas. Sementara di sekitar lintas wisata, usaha rumah makan, sentral oleh-oleh, perhotelan akan semakin meningkat.
Jika pemerintah jeli dan peduli terhadap . Pengembangan Sektor pariwisata ini lah salah satu solusinya, yaitu memanfaatkan sumberdaya alam tanpa harus merusak kelestariannya.
Untuk kajian lebih jauh tentang cara kerjasama yang baik antara pemerintah dengan pemilik lokasi, saya rekomendasikan studi banding ke obyek wisata Ciater di Bandung. Luas lokasi obyek wisata di sana, kurang lebih 6 Ha, lahannya 100% masih milik warga bukan Pemerintah Daerah. Di sana, PAD yang masuk ke kas daerah bukan hanya dari pungutan Retribusi diloket utama (loket masuk) sebesar Rp.15.000 / orang, namun juga dari pajak-pajak lain dari pelaku UMKM yang ada di sana. Sementara para pemilik lahan, masing-masing mengelola wahana yang dibangun diatas tanahnya, melalui kerjasama dengan pihak bank. Wahana yang ada sudah diatur sedemikian rupa oleh Pemda sehingga tidak tumpang tindih sehingga menjadi satu kesatuan. Ada yang mengelola Sepeda Air, Flaying Fox, Lapangan Tenis, Kolam Renang, dll. Masing-masing wahana dikenakan tiket masuk Rp.15.000. Jadi, baik pemerintah maupun warga, memiliki penghasilan masing-masing.
Semoga yang ditempatkan di Dinas Pariwisata HST saat ini orang yang tepat. Sehingga memiliki kajian dan kejelian dalam pengembangan pariwisata di HST.
Saran penting dari saya, untuk melakukan terobosan baru, rubah kebijakan yang ada. Insya Allah, HST akan menjadi Bandung ke dua. Geliat ekonomi meningkat, alam tetap lestari.
Ingat! Penyumbang terbesar devisa dunia di posisi rengking ke 4 adalah sektor pariwisata.