05/07/2023
Ibadah Haji, Jihad Tanpa Peperangan
(Pelajaran dari peristiwa di Muzdalifah dan Mina tahun haji 1444 H)
Diantara syariat Islam yang berat dilaksanakan adalah jihad. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti jihad diartikan tiga persepsi. Pertama, jihad adalah usaha dengan segala daya upaya untuk mencapai kebaikan, kedua, jihad merupakan usaha sungguh-sungguh membela agama Islam dengan mengorbankan harta benda, jiwa dan raga, dan ketiga jihad mengandung arti perang suci melawan orang kafir untuk mempertahankan agama Islam. Berjihad berarti berperang di jalan Allah. Dari pengertian ini dipahami, bahwa jihad membutuhkan kekuatan, baik tenaga, pikiran maupun harta. Pada sisi lain, dipahami bahwa jihad pada umumnya mengandung resiko kesulitan dan kelelahan di dalam pelaksanaannya. Dengan demikian jihad tidak bisa dilepaskan dari optimalisasi potensi yang dimiliki manusia baik tenaga, pikiran, harta dan jiwa untuk mencapai tujuan mulia dan pada umumnya mengandung resiko kesulitan dan kelelahan dalam pelaksanaannya.
Melaksanakan ibadah haji memerlukan kekuatan dan ketahanan fisik yang prima. Mulai dari thawaf, sai, pergerakan menuju arafah, mabit muzdalifah, mabit di mina dan melempar jumrah. Semuanya bertumpu pada kekuatan dan ketahanan fisik yang prima. Belum lagi jika dikaitkan dengan cuaca, adaptasi lingkungan, makanan dan lain sebagainya. Jemaah haji yang mempunyai kemampuan fisik yang baik masih merasa mengalami kesulitan dan hambatan apalagi bagi Jemaah yang dengan kemampuan fisik yang minim baik perempuan, orang lanjut usia, orang yang sakit dan yang mempunyai keterbatasan fisik lainnya.
Tahun haji 1444 H / 2023 M, jemaah haji, khususnya dari Indonesia diuji kesabaran dan ketahannnya saat pelaksanaan haji khususnya di Muzdalifah dan saat mabit di Mina. Setelah menyelesaikan puncak ibadah haji yaitu wuquf di Arafah, jemaah haji diangkut ke Muzdalifah. Sebuah ruang terbuka di wilayah antara Arafah dan Mina. Tidak ada atap tenda maupun karpet yang nyaman untuk duduk. Di ruang terbuka ini dengan debu halus yang berterbangan saat kaki-kaki ini menyapu tempat berpijak. Awalnya terlihat seperti kondisi pada tahun-tahun sebelumnya saat mabit di Muzdalifah. Tetapi yang mempuat penulis heran setelah lewat pertengahan malam, yang seharusnya pergerakan jamaah sudah dimulai kembali untuk melanjutkan perjalanan menuju ke Mina. Tetapi kondisi tidak terlihat seperti biasanya, pergerakan pengangkutan begitu lambat bahkan menjelang subuh jemaah haji di maktab kami mungkin masih lebih dari 80 persen. Biasanya untuk menunggu saat shalat subuh saja susah tetapi tahun ini banyak yang melaksanakan shalat shubuh di Muzdalifah. Selama di Muzdalifah tidak sedikit jemaah haji yang kekurangan bekal makanan. Sebab penulis baru tahu setelah selesai ibadah haji, harusnya jemaah heji mendapatkan bekal makanan dan minuman di Arafah untuk bekal mabit di Muzdalifah. Kebetulan di maktab penulis bekal itu tidak ada, yang membuat heran untuk kesekian kalinya.
Matahari di Muzdalifah bergerak meninggi menghangatkan kawasan suci itu semakin hangat dan bahkan semakin panas. Debu berterbangan, kekurangan suplay air minum, asupan makanan dan cuaca panas menyengat di tengah siang hari menjadikan kondisi di Muzdalifah semakin memanas. Panas cuaca, panas jiwa dan panas raga. Transportasi begitu sangat lambat, dimana Jemaah haji harus berdiri dalam waktu yang cukup lama menunggu bus yang akan membawa ke Mina.
Ujian ketahanan fisik dan psikis belum usai, sebab ketika sampai di Mina, Jemaah haji menghadapai ujian berikutnya yang tidak kalah hebat dari yang sudah dialami di Muzdalifah. Mina yang menjadi tempat mabit 2 hari bagi yang mengambil nafar awal dan 3 hari yang mengambil nafar tsani, menguji kesabaran dan ketahanan para tamu Allah. Kekurangan air untuk hajat harian, air minum, makan yang sempat tidak ada, terlambat atau tidak sesuai jumlah jemaah, antrian toilet yang memanjang, pendingin ruangan yang hanya terasa angin dengan suhu lebih dari 40 derajat di siang hari. Belum lagi jarak ke tempat lempar jumrah khususnya bagi jamaah lansia yang sebenarnya dianjurkan tinggal di tenda dan diwakilkan pelaksanaan lempar jumrahnya tetapi semangat itu mengalahkan kelemahan dan kelelahan fisik mereka. Pada saat jadwal melontar jumrah, banyak lansia yan berjalan bergerak menuju ke jamarat. Apa yang terjadi? Banyak yang bertumbangan di dalam perjalanan antara tenda Mina dan tempat jumrah. Bahkan ada yang meninggal dunia ketika baru masuk seperempat terowongan awal. Di sini penulis dan semua jamaah melihat bagaimana tenaga kesehatan dengan kondisi fisik dan psikis yang juga melemah tidak patah semangat mengobati, mendampingi, melayani jemaah yang berjatuhan di perjalanan melempar jumrah.
Akhirnya seluruh rangkaian manasik haji dapat dilaksanakan dengan baik dan sempurna. Jemaah haji kembali lagi ke hotel tempat penginapan mereka masing-masing. Menjalani kehidupan normal, nyaman, tercukupi kebutuhan jasmani dan rohaninya kembali. Lalu apakah yang bisa kita ambil pelajaran dari perjalanan ibadah haji ini, khususnya bagi Jemaah haji itu sendiri?
Pertama, paling tidak kita menyadari bahwasanya pahala berbanding lurus dengan usaha yang dikerjakan. Allah menjanjikan surga bagi haji mabrur. Haji mabrur tentunya bukan haji yang tanpa hambatan dan rintangan. Haji mabrur adalah perjuangan, kesabaran dan kaikhlasan.
Kedua, ibadah masih membutuhkan paksaan dan motivasi. Sebab tantangan, halangan dan godaan begitu banyak, yang menyebabkan kemalasan, keengganan dan ketidaktertarikan. Diri kita harus dimotivasi dan dipaksa untuk menjalankan ibadah. Ternyata tantangan dari segala penjuru saat melaksanakan ibadah haji dapat teratasi dan dilalui dengan sempurna.
Ketiga, ibadah haji tidak semata mata ibadah fisik, tetap terintegrasi dengan faktor iman atau ruhiyah. Kalau semata-mata ibadah fisik maka yang kuat fisikpun bisa mengalami kebuntuan dan keputus-asaan, apalagi jemaah lansia, jemaah sakit dan jemaah perempuan yang notebene lemah secara fisik. Apa yang menyebabkan jemaah haji mampu bertahan dan bersabar menjalani rangkaian ibadah itu? Siapakah yang menjadikan para tamu Allah mampu bersabar dan bertahan untuk melaksanakan ibadah yang berat itu ? Kenapa mau menjalankannya dengan penuh kerepotan dan kesulitan? Bagaimana merasakan semua itu ? dengan jasmani atau imani ?
Keempat, benarlah sabda nabi muhammad saw, kalau ibadah haji adalah jihad. Khususnya jihadnya perempuan dan orang-orang yang lemah, sebab merekalah yang paling merasakan beratnya medan jihad ibadah haji ini. Sebagaimana dalam hadits Aisyah ra ketika beliau ditanya apakah ada kewajiban jihad bagi perempuan ? Beliau menjawab ya, ada, jihad tanpa peperangan yaitu haji dan umrah. Dan terkait dengan orang-orang yang lemah beliau bersabda Haji adalah jihadnya ornag-orang yang lemah (HR Ibnu Majah)
Karena itu tahapan demi tahapan ibadah haji yang dapat diselesaikan merupakan karunia, pertolongan dan jamuan Allah. Perjuangan dari setiap tahapan ibadah itulah yang memberikan nilai tinggi dihadapan Allah swt. Kesabaran menjalankan setiap rangkaian ibadah itu mendapatkan balasan tiada terhingga dari Allah swt yaitu surga. Selamat para hujjaj atas segala kesabaran, perjuangan, keikhlasan dan penantian yang Panjang.
Perjuangan berikutnya adalah keistiqamahan menjadi hamba Allah yang tunduk dan taat sebagaimana disaat wuquf, berdoa , menangis, mengharap kepada Allah menjadi muslim yang baru, yang menjadikan Allah sebagai poros kehidupan dan tujuan dalam setiap langkah.
Muhammad Arief Rahman, Lc, MA
Makkah al-Mukarramah
17 Dzulhijjah 1444
5 Juli 2023