25/05/2021
Ki Ageng Selo / Abdurrahman II
sang legenda penagkap petir / Bledeg
Leluhur raja raja tanaj jawi
Babad Tanah Jawi menyebutkan, Ki Ageng Selo adalah keturunan Raja Majapahit, Brawijaya V. Pernikahan Brawijaya V dengan Putri Wandan Kuning melahirkan Bondan Kejawen atau Lembu Peteng. Lembu Peteng yang menikah dengan Dewi Nawangsih, putri Ki Ageng Tarub, menurunkan Ki Ageng Getas Pendawa. Dari Ki Ageng Getas Pendawa lahirlah Bogus Sogom alias Syekh Abdurrahman alias Ki Ageng Selo.
Ki Ageng Getas Pandowo berputra tujuh orang yaitu :
1. . Ki Ageng Selo,
2. . Nyai Ageng Pakis,
3. . Nyai Ageng Purna,
4. . Nyai Ageng Kare,
5. . Nyai Ageng Wanglu,
6. . Nyai Ageng Bokong,
7. . Nyai Ageng Adibaya .
Kesukaan Ki Ageng Sela adalah bertapa dihutan, gua, dan gunung sambil bertani menggarap sawah. Dia tidak mementingkan harta dunia. Hasil sawahnya dibagi - bagikan kepada tetangganya yang membutuhkan agar hidup berkecukupan. Bahkan akhirnya Ki Ageng Sela mendirikan perguruan Islam. Muridnya banyak, datang dari berbagai penjuru daerah. Salah satu muridnya adalah Mas Karebet calon Sultan Pajang Hadiwijaya. Dalam tapanya itu Ki Ageng selalu memohon kepada Tuhan agar dia dapat menurunkan raja - raja besar yang menguasai seluruh Jawa .
Ketika Sultan Demak : Trenggana masih hidup pada suatu hari Ki Ageng Sela pergi ke sawah. Hari itu sangat mendung, pertanda hari akan hujan. Tidak lama memang benar - benar hujan lebat turun. Halilintar menyambar. Tetapi Ki Ageng Sela tetap enak - enak menyangkul, baru sebentar dia mencangkul, datanglah “ bledheg “ itu menyambar Ki Ageng, berwujud seorang kakek - kakek. Kakek itu cepat - cepat ditangkap nya dan kena, kemudian diikat dipohon gandri, dan dia meneruskan mencangkul sawahnya. Setelah cukup, dia p**ang dan “ bledheg “ itu dibawa p**ang dan dihaturkan kepada Sultan demak. Oleh Sultan “ bledheg “ itu ditaruh didalam jeruji besi yang kuat dan ditaruh ditengah alun - alun. Banyak orang yang berdatangan untuk melihat ujud “ bledheg “ itu. Ketika itu datanglah seorang nenek - nenek dengan membawa air kendi. Air itu diberikan kepada kakek “ bledheg “ dan diminumnya. Setelah minum terdengarlah menggelegar memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu lenyaplah kakek dan nenek “ bledheg : tersebut, sedang jeruji besi tempat mengurung kakek “ bledheg hancur berantakan.
Cerita Rakyat Demak: Ki Ageng Selo, Sang Penakluk Kilat
KEHEBATAN Ki Ageng Selo tak asing lagi bagi penduduk sekitar. Bahkan tersohor hingga ke berbagai negeri. Banyak ora…ng datang padanya dengan berbagai tujuan. Ada yang ingin berguru, ada p**a yang datang sekadar untuk minta doa atau disembuhkan dari penyakit yang dideritanya. Kesaktian Ki Ageng Selo tak hanya sampai di situ. Ia pun dapat menangkap kilat yang menyambar-nyambar saat hujan tengah membasahi bumi. Dialah manusia yang ditakuti kilat.
Suatu hari, Ki Ageng Selo sedang asyik duduk di masjid sambil bermunajad. Tangannya memutar-mutar tasbih dan mulutnya tak henti-henti berdzikir. Sementara itu, di luar hujan mengguyur bumi dengan derasnya. Suasana itu tidak mengganggu kekhusyukan Ki Ageng Selo sama sekali. Bahkan, ia semakin khusyuk. Suara hujan menjadi irama tersendiri dalam hatinya untuk menyenandungkan nama-nama Ilahi.
Namun keadaan menjadi lain ketika kilat datang. Menyambar-nyambar di atas kubah masjid. Penduduk desa takut karenanya. Ki Ageng Selo sejenak membiarkannya. Mungkin hanya sebentar saja mengganggu, batinnya. Semakin dibiarkan, semakin kencang dan sering p**a kilat itu menyambar-nyambar. Suaranya menggelegar, memekakkan telinga, membuat anak-anak meringkuk di atas kasurnya, dalam pelukan ibunya. Sementara orang-orang dewasa tak meneruskan pekerjaannya.
Di dalam masjid, Ki Ageng Selo mencoba tetap berkonsentrasi pada dzikirnya. Tetap khusyuk pada wiridnya.
Tiba-tiba di luar masjid penduduk desa berteriak-teriak. Tingkah kilat makin menjadi-jadi. Beberapa pohon tumbang disambarnya. Beberapa rumah roboh ikut terbakar. Mendengar kegaduhan itu, Ki Ageng Selo tak lagi bisa konsentrasi dan khusyuk berdzikir. Maka keluarlah Ki Ageng Selo.
Begitu Ki Ageng Selo sampai di ambang masjid, penduduk desa sudah menyambutnya dengan berbagai keluhan agar Ki Ageng Selo mau menolong mereka.
“Rumah saya, Ki. Sudah terbakar gara-gara kilat itu,” kata salah seorang penduduk.
“Rumah saya juga, hancur karena pohon di depan rumah tumbang gara-gara disambar kilat jahat itu,” kata yang lainnya.
“Lihatlah anak saya, Ki. Kakinya patah terkena reruntuhan rumah,”
Ki Ageng Selo tak banyak bicara. Ia memandangi satu-persatu wajah penduduk yang menyiratkan kesedihan sebab kehilangan harta bendanya.
“Masuklah kalian ke dalam masjid,” suruh Ki Ageng Selo kepada penduduk desa. “Jangan lupa cuci kaki kalian dulu.” Lanjutnya memperingatkan.
Perlahan kaki Ki Ageng Selo melangkah menuruni anak tangga masjid. Sebelum sampai ke tanah, ia berhenti sejenak. Matanya terpejam, bibirnya bergerak-gerak tanda memanjatkan doa.
Setelah selesai dengan ritual kecil tersebut, Ki Ageng Selo lantas melangkahkan kaki dengan mantap.
Aneh! Kata penduduk desa. Hujan yang begitu derasnya, tanpa payung tanpa topi, sama sekali tak membasahi baju Ki Ageng Selo, sedikit pun. Mata penduduk desa terheran-heran menyaksikan kejadian di depan mereka. Mereka tak pernah menyaksikan hal itu sebelumnya.
Langkah kaki terus semakin mantap. Langkah yang aneh. Tak seperti manusia biasa. Tapi ia memang manusia. Manusia yang dikasihi Tuhan. Manusia yang dekat dengan Tuhan.
Langkah aneh itu lama kelaman tidak menyentah tanah. Kaki tetap melangkah tapi tanpa berpijak pada tanah. Hanya angin yang menopang langkahnya menuju lapangan besar di depan masjid, orang-orang menyebutnya alun-alun.
Sampai di tengah alun-alun, Ki Ageng Selo berhenti, tak berbuat apa-apa. Diam. Hanya menyilangkan tangannya di depan dadanya. Sejenak ia menundukkan kepalanya, mungkin berdoa lagi. Lantas mendongakkan kepalanya ke atas langit. Masih diam. Tapi matanya nanar menatap langit.
Ketakutan penduduk desa semakin menjadi-jadi. Kejadian langkah seperti tak pernah mereka saksikan. Yang laki-laki menatap dengan tatapan yang mengherankan pada orang yang mereka kagumi itu di tengah alun-alun, yang perempuan mendekap anaknya yang ketakutan. Semua penduduk merapatkan barisan.
Sang kepala desa berdiri di tengah-tengah penduduk desa.
“Saudara-saudara semua, mari kita panjatkan doa kepada Tuhan sebisa mungkin, agar Ki Ageng Selo selamat dan dapat menghentikan bencana ini.”
“Ya. Mari…” sambut penduduk.
Mulut semua penduduk lantas berkomat-kamit. Tak banyak dari penduduk yang tak hafal doa, bahkan ada yang tidak bisa sama sekali. Tapi mereka berupaya semampu mereka. Mengeja apa yang mereka tahu sebagai doa.
Sementara itu, di atas alun-alun depan masjid, suara guntur dan sambaran kilat makin menjadi-jadi. Langit makin gelap. Mendung berputar-putar melingkar di atas alun-alun.
Seketika mulut penduduk desa menjerit. Sekelebat cahaya penuh amarah menyambar Ki Ageng Selo yang berada di tengah-tengah lapangan. Semuanya menutup mata dan menyembunyikan wajah, seolah takut menerima kenyataan.
“Masyaallah. Astaghfirullah.” seru salah seorang penduduk yang mengagetkan penduduk lainnya.
Bukan kelegaan yang mereka lihat. Tapi justru ketegangan semakin memompa darah. Tak disangka-sangka, kilat yang selama ini ditakuti manusia, sekarang berada di tangan Ki Ageng Selo. Sungguh pemandangan yang mengagumkan. Lantas terjadi dialog di antara keduanya.
“Wahai, Kilat. Berhentilah mengganggu penduduk sekitar.” Kata Ki Ageng Selo kepada kilat yang berada di tangannya.
“Baiklah. Aku tidak akan mengganggu penduduk lagi, juga beserta anak-cucumu.” Jawab Kilat.
Lega juga hati penduduk desa. Selesai juga peristiwa menegangkan itu. Penduduk desa menyambut Ki Ageng Selo penuh rasa haru dan menyalami tangannya dengan mencium tangannya.
Besoknya para penduduk membuat gambar kilat yang pada kayu berbentuk ukiran sebesar pintu masjid. Lantas mereka menyerahkannya kepada Ki Ageng Selo. Dengan senang hati Ki Ageng Selo menerimanya dan dipasang di pintu depan masjid Demak. Dan masih bisa dilihat hingga sekarang.
Sejak saat itu kilat tak lagi membuat kacau dan mengganggu penduduk. Hanya sesekali bersuara di atas desa itu. Penduduk desa semakin rajin menunaikan ibadah di masjid dan menghentikan pekerjaan mereka ketika adzan berkumandang.
Selain itu, ketika hujan dan kilat datang, anak-anak dan penduduk desa tak lagi takut. Jika ada kilat yang menyambar, mereka akan mengatakan dengan tenang, “Aku cucunya Ki Ageng Selo.”
Kemudian suatu ketika Ki Ageng nanggap wayang kulit dengan dhalang Ki Bicak. Istri Ki Bicak sangat cantik. Ki Ageng jatuh cinta pada Nyai Bicak. Maka untuk dapat memperistri Nyai Bicak, Kyai Bicak dibunuhnya. Wayang Bende dan Nyai Bicak diambilnya, “ Bende “ tersebut kemudian diberi nama Kyai Bicak, yang kemudian menjadi pusaka Kerajaan Mataram. Bila “ Bende “ tersebut dipukul dan suaranya menggema, bertanda perangnya akan menang tetapi kalau dipukul tidak berbunyi pertanda perangnya akan kalah.
Peristiwa lain lagi : Pada suatu hari Ki Ageng Sela sedang menggendong anaknya di tengah tanaman waluh dihalaman rumahnya. Datanglah orang mengamuk kepadanya. Orang itu dapat dibunuhnya, tetapi dia “ kesrimpet “ batang waluh dan jatuh telentang, sehingga kainnya lepas dan dia menjadi telanjang. Oleh peristiwa tersebut maka Ki Ageng Sela menjatuhkan umpatan, bahwa anak turunnya dilarang menanam waluh di halaman rumah memakai kain cinde .
Saha lajeng dhawahaken prapasa, benjeng ing saturun - turunipun sampun nganthos wonten ingkang nyamping cindhe serta nanem waluh serta dhahar wohipun. ( Dirdjosubroto : 1928 : 152 – 153 ).
Dalam hidup berkeluarga Ki Ageng Sela mempunyai putra tujuh orang yaitu :
1. . Nyai Ageng Lurung Tengah,
2. . Nyai Ageng Saba ( Wanasaba ),
3. . Nyai Ageng Basri,
4. . Nyai Ageng Jati,
5. . Nyai Ageng Patanen,
6. . Nyai Ageng Pakis Dadu, dan bungsunya putra laki - laki bernama
7. . Kyai Ageng Enis.